Inkonsistensi Kaum Liberal Menyikapi Muslim Rohingya

Oleh: Kholili Hasib

PADA 28 Juli 2012 dalam akun Twitter nya, Ulil Abshar Abdallah menulis bahwa kalau umat Islam masih menyetujui aniaya Ahmadiyah di Indonesia, maka umat Islam tak layak protes saat umat Muslim Rohingya dianiaya di Myanmar. Ia mengkritik umat Muslim Indonesia yang tidak sensitif terhadap kasus Ahmadiyah, mereka hanya sensitif terhadap umat Islam di Negara lain.

Inkonsisten

Ulil sendiri, bergeming soal tragedi kemanusiaan yang menimpa umat Islam di Myanmar. Tidak selantang ketika membela agama Ahmadiyah. Artinya, kicauan di Twitter nya itu justruf tidak sesuai dengan idelisme yang ia lontarkan ketika mengkritik kelompok yang ia sebut ‘teman-teman Muslim’ Indonesia.

Buktinya, ia mengkritik kaum Muslim Indonesia yang hanya sensitif terhadap kasus aniaya Muslim di Negara lain, namun tidak senstitif terhadap aniaya Ahmadiyah di negeri sendiri. Padahal Ulil sendiri tidak menunjukkan aksi solidaritas yang sesungguhnya terhadap nasib Muslim Rohingya. Sikap ini menunjukkan inkonsistensi Ulil sendiri. Ulil hanya sensitif terhadap kasus Ahmadiyah di dalam negeri tapi tidak sensitif terhadap kekerasan yang dialami Muslim Rohingya.

Sampai kini, Ulil tidak menunjukkan sikap dan pernyataan tegas terhadap pembantaian yang dilakukan pemerintah Junta Militer Myanmar. Sama sekali tidak ada aksi demo di jalan memprotes keras terhadap Myanmar.

Padahal, bebarapa waktu lalu Ulil membela mati-matian pelaku homoseks dan lesbian dengan turun ke jalan, agar kaum homoseks diberi kebebasan atas orientasi seksualnya. Jika Ulil konsisten dengan kicauannya di twitter, harusnya dia juga turun ke jalan bersama umat Islam lainnya memprotes penindasan terhadap Muslim Rohingya. Padahal tragedi Rohingnya sangat menyedihkan.

Jika tidak turun ke jalan, Ulil cukup menyuarakan solidaritas dengan melakukan usulan-usulan politik ke pemerintah Indonesia untuk segera mengambil langkah diplomatis menghentikan pembantaian di Myanmar. Tapi adakah suara Ulil seperti itu?

Tidak Adil

Sikap inkonsisten juga menunjukkan sikap berat sebelah dalam menilai praktik HAM. Meski beberapa media dan politikus Indonesia mulai bersuara, Ulil dan kawan-kawan di Jaringan Islam Liberal (JIL) serta LSM HAM masih belum bersuara lantang.

Jika dibandingkan dengan kasus Ahmadiyah, aktivis Islam Liberal dan LSM liberal ngotot kepada pemerintah agar warga Ahmadiyah diberi kebebasan. Padahal, Ahmadiyah melakukan penodaan terhadap ajaran Islam. Jika merujuk kepada undang-undang Negara, agama Ahmadiyah telah melakukan pelanggaran HAM umat Islam. Mereka menodai ajaran suci dengan menambah keyakinan bahwa Ghulam Ahmad adalah seorang Nabi.

Namun, bagi Ulil dan kawan-kawan, Ahmadiyah yang menodai Islam, justru dibela. Muslim Rohingnya di Myanmar yang jelas-jelas dibantai tentara pemerintah tidak mendapatkan pembelaan seperti pembelaannya terhadap Ahmadiyah.

Umat Islam Indonesia pun juga tidak melakukan pembantaian terhadap warga Ahmadiyah ataupun sampai memperkosa para wanita pengikut Ahmadiyah. Kaum Muslim hanya meluruskan penyimpangan yang mereka lakukan. Dan menawarkan opsi untuk menyatakan diri sebagai pengikut agama Ahmadiyah, di luar Islam. Jika terjadi kasus kekerasan, itu adalah reaksi spontan masyarakat bawah atas penistaan yang dilkukan Ahmadiyah, karena provokasi Ahmadiyah sendiri dan tidak tegasnya pemerintah melindungi keyakinan umat Islam dari penodaan mereka.

Bandingkan dengan yang terjadi terhadap Muslim Rohingya. Mereka dibantai dan dianiaya secara sistematis soleh militer pemerintah. Muslim Rohingnya juga tidak melakukan penghinaan terhadap pemerintah. Mereka dibantai hanya karena pemerintah phobi terhadap Muslim.

Rohingya merupakan etnis yang tinggal di Provinsi Arakan, Myanmar Barat. Populasinya mencapai satu juta jiwa, dan dalam catatan sejarah mereka telah ada sejak abad ke-7 M — jauh sebelum Myanmar merdeka pada 1948.

Sejak awal merdeka, etnis Rohingnya mengalami kekerasan, disksriminasi dan pemiskinan oleh pemerintah dan mayoritas rakyat yang beragama Budha. Mereka dituduh bukan etnis Myanmar asli, sehingga tidak diakui sebagai warga Negara Myanmar. Padahal, bersama 136 etnis lainnya, mereka telah mendiami negeri itu jauh sebelemu Myanmar merdeka.

Selama beberapa dekade, mereka ditindas yang menyebabkan puluhan ribu tewas, tempat tinggal dibakar, wanitanya diperkosa, dan diusir dari negaranya. Mereka dikejar-kejar di mana pun mereka lari — seperti warga yang tidak memiliki hak kewarganegaraan. Negara-negara ASEAN sendiri, termasuk Indonesia tidak memberi suaka politik. Tidak ada alasan rasional mengapa mereka dianiaya sedemikian kejinya. Etnis mayoritas benci hanya karena etnis Rohingya Muslim.

Menodai HAM

Pernyataan Ulil seperti tersebut di atas, tidak hanya menyakiti hati kaum Muslimin sedunia, tapi juga menodai diktum HAM sedunia.

Tindakan pengusiran, pembakaran kampung halaman, pemerkosaan terhadap wanita dan pembantaian secara keji yang dialami Muslim Rohingya termasuk penggaran berat HAM. Pelakunya harus diadukan kepada peradilan Internasional PBB.

Dalam deklarasi universal pada 1948 ditulis bahwa badan HAM sedunia didirikan untuk menegakkan keadilan, kedamaian dan hak asasi manusia warga Negara dunia. Jika sekarang hak-hak Muslim Rohingnya dirampas, maka mereka harus dibela.

Pembiaran dan sikap bergeming terhadap tragedi ini jelas menyalahi diktum deklarasi universal HAM sedunia. Apalagi membuat pernyataan menyakitkan, jelas-jelas ini menodai Hak Asasi Manusia (HAM).

Pandangan Ulil yang mengkritik umat Muslim sama sekali bukan sikap yang didasarkan atas HAM yang selama ini perjuangkan. Pernyataan menyakitkan Ulil justru menista HAM warga Rohingya. Jika memang pejuang sejati HAM, harusnya ia beritindak tegas, bukan mengkritik kaum Muslim dengan membanding-bandingkan dengan kasus Ahmadiyah.

Etnis minoritas Rohingya yang harus mendapatkan pembelaan, bukan pernyataan kritis terhadap kaum Muslim. Jika Muslim Rohingya membaca kicauan Ulil, mereka pasti sakit hati. Pernyataan Ulil hanya akan menambah sakit saudara Muslim Rohingya.

Sikap seperti Ulil, hanya didasarkan atas ketidasukaan terhadap kaum Muslim Indonesia, bukan atas landasan HAM dan demokrasi. Adagium membela HAM dan demokrasi yang selama ini diperjuangkan hanyalah ilusi, jika warga minoritas Rohingya didiamkan.*

Penulis adalah peneliti InPAS Surabaya

Dikutip dari hidayatullah.com pada 27 Romadhon 1433 H./16 Agustus 2012 Miladiyah.

About ubanpamungkas
Bugis Tondong Sinjai

Leave a comment